Cerita perjalanan liburan saya selama 1 minggu lebih ini dapat saya kelompokkan menjadi dua bagian; sesi road trip dan backpack zone.
1. Road Trip
Saya mendarat di LCC Malaysia 29 Nov pukul 23.00. Ternyata rombongan keluarga besar saya telah terlebih dahulu mendarat disana hampir 4 jam sebelum kedatangan saya. Rombongan ini sendiri terdiri dari orang tua dan adik saya, ikut serta pula kakek nenek. Selain itu tante dan sepupu-sepupu pun ikut bergabung. Serta seorang tamu undangan khusus yaitu sang pacar dari adik saya, yang akihrnya nanti akan ikut berbelpek ria di thailand. Rombongan besar berjumlah 16 orang ini akan dibagi ke dalam 2 mobil, dimana masing-masing terdiri dari 8 orang tiap mobilnya.
Bagian pertama perjalanan saya ini saya namakan dengan "road trip". Hal ini dikarenakan dari 4 hari total perjalanan saya bersama keluarga besar kali ini, hampir 75% waktu perjalanan saya habiskan selama di perjalanan. Titik awal Road Trip ini sendiri akan bermula dari Kuala Lumpur dan kemudian menuju Singapura. Selepas Singapura kami akan langsung bergerak ke utara menuju Sintok dimana kampus adik saya berada. Setelah itu kami akan kembali pulang menuju KL sambil menyempatkan diri dulu untuk melihat-lihat kota Penang.
And here the story goes…
Perjalanan dimulai dengan tujuan pertama: Singapura.
Selepas meninggalkan LCC sekitar pukul 24.00, perjalanan akan diarahkan menuju selatan. Sempat mampir “menginap” sebentar di rest area, yang kelak rest area-rest area ini akan menjadi penginapan utama selama perjalanan saya kali ini. Rest area yang kami singgahi kurang lebih serupa dengan yang biasa kita jumpai sepanjang tol cipularang. Berbagai fasilitas mulai dari musholla, food court dengan varietas makanan yang tinggi, parkiran luas, serta kamar mandi yang benar bersih. Musholla dan mobil pun menjadi pilihan utama untuk meluruskan badan dan memejamkan mata barang sejenak sebelum kami melanjutkan perjalanan di pagi harinya.
Di pagi hari setelah 2 jam perjalanan selepas check-out dari rest area, Johor pun berdiri tegak menyambut kami. Kota ini berperan sebagai pintu gerbang untuk dapat masuk menuju Singapura. Masalah imigrasi? Disini semua serba drive-in, anda tidak perlu repot-repot keluar mobil untuk menjalani segala prosedur keimigrasian. Namun berhubung saya dan sebagian keluarga baru pertama kali ini memasuki Singapura, terpaksalah kami diajak “berkenalan” terlebih dahulu dengan petugas imigrasi nya melalui prosedur wawancara dan pengecekan passport.
30 Oktober, Singapura. Kami berpusing-pusing di kota peninggalan Sir Raffles ini tidak lebih dari 8 jam. Hanya sempat menjenguk bagaimana bentuk marlion yang sesungguhnya dan setelah itu hanya berjalan-jalan keliling kota. Itupun tanpa sempat ke Santosa Island. Benar apa kata orang, ini negeri mahal bung!
Adik saya pun sempat bercanda bahwa sebenernya harga barang (nominal angka) di Singapura dan di Malaysia itu sama, yang berbeda itu cuma mata uang nya.
Destinasi kedua: UUM, Sintok, Malaysia
Perjalanan pun di lanjutkan malam hari meninggalkan Singapura. Sempat menginap lagi di rest area sebelum KL, kemudian perjalanan kembali dilanjutkan pada pagi harinya sembari singgah sebentar di Putra Jaya KL untuk langsung menuju UUM di Sintok, sambil sesekali menghampiri beberapa teman papa yang kebetulan bertempat tinggal sejalan dengan perjalanan menuju UUM. Tak terasa selama seharian penuh ini kami menghabiskan waktu di atas kendaraan menyusuri jalan bebas hambatan sepanjang semenanjung Malaka ini.
Pagi hari 1 Nov di UUM. Kampus ini memiliki pemandangan yang luar biasa rapi dan luas. Terletak di ujung perbatasan Malaysia dengan thailand, serta jauh dari hingar bingarnya perkotaan sehingga menyebabkan kampus ini terasa sangat asri dan tenang.
Dian diwisuda di hari ini. Acaranya sendiri berlangsung di auditorium yang beratmosfer tidak jauh berbeda dengan Sasana Budaya Ganesha ITB. Ternyat acara formil wisudaan disini pun tidak jauh berbeda dengan yang pernah saya alami dulu. Tapi yang dirasa cukup berbeda, acara wisudaan ini diseliingi oleh beberapa penampilan kesenian musik. Ok, saya akui paduan suara mereka terdengar cukup menyeramkan, tapi UUM berani menampilkan diversity kebudayaan mereka dengan menampilkan berbagai nstrumen kesenian seperti: Bag Pipe, Big Band, Indian traditional music, dan bahkan angklung, gamelan, serta talempong pun tidak ketinggalan untuk unjuk kebolehan disini. Ironis, sebagai bangsa yang mengklaim kesenian tersebut sebagai hak miliknya, boro-boro untuk membanggakannya sebagai kekayaan intelektuil bangsa sendiri, sekedar mempertontonkannya di acara-acara formil sehari-hari kayaknya aja masih dirasa sangat kurang.
Hal lain yang cukup mencengangkan saya adalah kampus ini memiliki race gokart sendiri!!! (sayangnya karena hujan selama beberapa hari di sana, saya pun tidak sempat untuk menjajal sirkuit ini :p). For more additional info, Bapak ketua dewan legislatif kita yang terhormat ternyata wisudaan juga di UUM tepat satu hari sebelum adik saya. Terlihat umbul-umbul bergambar beliau di beberapa titik di dalam kampus.
Saya sempat membayangkan kalo umbul-umbul tersebut bisa tercancam dijadikan keset kaki alternatif oleh para rakyat yang geram dengan komentar kenegaraan wakil rakyatnya mengenai musibah mentawai.
Setelah dua hari menetap di kampus UUM, pada tanggal 2 Nov pagi kami pun melanjutkan perjalanan kembali menuju KL. Saya dan Doli akan berpisah dengan rombongan disini. Kami akan melanjutkan perjalanan meunuju Chiang Mai pada tanggal 3 Nov pagi, sedangkan keluarga yang lain akan kembali ke Indonesia pada tanggal 4 Nov.
Di perjalanan sebelum mencapai KL, kami sempatkan untuk mampir dahulu di kota terbesar kedua Malaysia, Penang. Kota-pulau yang letaknya terpisah dari semenanjung Malaka ini dihubungkan oleh sebuah jembatan yang di klaim sebagai terpanjang di Asia tenggara. Pulau penang dan semenanjung Malaka mungkin bisa saya analogikan secara geografis dengan Madura dan Jawa. Semenanjung Malaka dan Jawa memiliki peran yang sama yaitu sebagai epicentrum dari segala urusan pemerintahan, perekonomian, dan kebudayaan bagi masing-masing negara. Dengan kondisi analogi seperti seperti itu, maka seharusnya Madura dan Penang memiliki kondisi demografi yang nyaris sama. Jika Penang mampu berdiri sebagai kota terbesar kedua di Malaysia bahkan dilengkapi dengan International Airport tersibuk setelah KLCC Kuala lumpur, sedangkan untuk Madura, maaf mungkin saya tidak bisa berkomentar banyak.
Melintasi jembatan Penang sepanjang 13,5 km ini saya hanya bisa geleng-geleng kepala kalau (dulu) betapa kagumnya saya dengan jembatan Suramadu. Ternyata dari saudara muda yang sering kita caci maki ini, masih banyak hal yang perlu kita pelajari dari mereka.